Rabu, 31 Desember 2014

“Sunrise of The Summer”


Summerland, ini tempat tinggal baru keluargaku, kami pindah kemarin pagi. Semua orang yang tinggal disini lebih memilih berjalan kaki atau bersepeda. Bila kalian ingin tahu, jelajahilah dunia ini kota Summerland yang tidak akan pernah kalian temukan di sudut manapun belahan dunia ini.




          “Mam, Anggrek dan tulip ini mau di simpan dimana?” suara nyaring itu terdengar dari belakang.
          “Simpan di tempat sampah saja, Sunshine Seawer,” sela Sunrise setengah hati sambil memperhatikan saudara kembarnya yang sedang asyik dengan tanaman-tanamannya. “Tidak ada kerjaan lain selain itu?”
           Mama berjalan menghampiri Sunshine. “Sunrise Aquila!” sambil melambaikan tangan ke arah Sunrise berada.
           Sunrise memerhatikan mama yang sedang sibuk dengan tanamannya. “Apa ma?” jawabnya ringan sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa besar yang berada di tengah ruangan.
           “Bantu mama dan adikmu, jangan hanya ngurusin cerita bodohmu itu.”
           Sunshine hanya tertawa kecil mendengar perkataan mama.
           Sunrise mengacungkan buku hitamnya sambil menujukkan ke arah mama. “Ma, ini itu hidup dan matiku  ̶̶ ̶̶̶  Ada yang lucu?”
           Sunshine mengambil alat penyemprot tanaman di meja kecil dekat jendela. “Hidup dan matimu hanya sebuah cerita? Suram.”
           “Jangan ikut campur, uruskan saja tanamanmu.”
           Sunshine berjalan mendekat. “Kenapa?”
           “Jika kau bersama tanamanmu kau terlihat autis, dan suasana rumah ini akan tentram.” Sunrise menyimpan buku hitamnya  di sisi tubuhnya yang menghadap ke punggung sofa.
           “Autis? Katamu, aku autis?” Sunshine mendesah keras, lalu mengambil buku hitam milik Sunrise. “Siapa yang lebih autis, kau sendiri seperti alien autis gila dengan cerita khayalanmu!” lalu mejatuhkan buku itu ke lantai dengan keras. “Sunrise, kau tidak pantas jadi seorang kakak untukku. Kau itu bodoh!”
           “SUNSHINE! Tutup mulutmu.” Mama menampar Sunshine.
           “Ma! Perhatikan Sunrise. Mama tidak peduli dengan masa depannya, beberapa detik lagi usia kami bertambah. Mama tahu sendiri kalau Sunrise akan di usir dari Summerland, kan? Ke sisi gelap Summerland!”
           “Maksudmu?” Sunrise memperhatikan kedua orang itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Jelaskan!”
           Mama menarik Sunrise duduk di sofa besar itu dan menyuruh Sunshine mengurusi tanaman yang lain. “Perkataan Shine benar, sejak kecil Sunrise tidak menyukai tanaman yang membantu kehidupan kita terus berlangsung. Summerland memiliki syarat tertentu di usia remeja seperti usia kalian yang saat ini akan bertambah.”
           Sunrise menatap Shunsine lalu kembali menatap mama. Tolong jelaskan maksud perkataan mama tadi.
           Mama belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Cahaya putih serta prajurit dengan lambang pohon didada kanan mereka, menarik Sunrise masuk ke dalam cahaya putih itu.

ӁӂӁ

          Perlahan Sunrise membuka matanya, memperhatikan sekelilingnya. Tanah kering dengan penuh retakkan. Ia mengangkat tubuhnya berjalan mencari-cari seseorang yang tinggal di tempat ini. Namun sayang, tidak ada apa-apa disini, bahkan pohon pun tidak ada, hanya ada udara panas dari sinar matahari yang membuat seluruh kulitnya memerah. “Tempat apa ini?” perkataan itu selalu melintas dalam benaknya ketika memandangi keadaan sekitarnya. Sunrise berjalan tanpa mengenakan alas kaki, ia berusaha menahan sakit serta panas yang menusuk sambil memandangi kertas besar yang berdiri tegak dengan penyangga kokoh menahannya, yang bertuliskan:
           Crounland, kota tanpa pohon ini adalah tempat kalian. Silahkan menikmatinya.
           “Summerblack?,” gumam Sunrise pelan.

Langkah Sunrise mulai melambat, sinar matahari kian menyengat menusuk kulitnya. Ia memandangi sekitarnya sambil mengusap lengannya dengan kaki berjingkat-jingkat. Sunrise terus berjalan memandangi setiap retakkan tanah gersang.





Dengan hembusan nafas panjang Sunrise mengakhiri langkahnya dan memilih duduk  sambil meluruskan kakinya dengan tangan menahan beban. “Crounland,” gumamnya pelan.
Sunrise menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya dengan mata yang berkaca-kaca ia menatap langit cerah dengan pancaran sinar matahari yang kian lama makin panas dengan satu tangan menghalanginya dari cahaya. Perlahan ia mengusap perutnya sambil mengernyit menggigit bibir.

ӁӂӁ

Masa demi masa melewati pikiran kecilnya. Sunrise tahu betul ingatannya tidak sekuat lembaran buku ceritanya, maka dari itu ia selalu menulis. Menulis tentang dirinya, tentang apa yang terjadi disaat itu. Namun saat ini, tidak ada selembar kertas pun yang dapat menyimpan ceritanya.
           Sunrise Aquila mencoba berbagi cerita dengan pikirannya, menyakinkan pikirannya untuk selalu mengingat kejadian hari ini tanpa menyimpan dendam dan amarah.
           Perutnya makin terasa perih dan untuk menahan rasa sakit itu Sunrise melipat kedua kakinya mendekat ke dada dengan kedua tangan terlipat memeluk punggung kakinya perlahan ia menundukkan kepalanya hingga dahinya menyentuh lutut. “Aku berharap malam ini dapat mematikan panasnya mentari,” gumamnya pelan sambil menutup kedua matanya.
           Selembar kain menyentuh punggung Sunrise, dengan spontan ia mengangkat kepalanya memerhatikan ujung lengan baju yang menggantung di pundaknya. Ia menarik baju itu. Baju berbahan woll berwarna merah marun serta motif garis vertikal dengan bertuliskan“Rain Fiter” disudut kiri bawah sweater.
           “Hai… hai!” Teriak suara laki-laki dari arah belakang.
           Sunrise membalikkan badannya ke belakang, namun ia tidak menemui siapapun di sana.
           “Hai, gadis kepang! Hallo.”
           Sunrise memicingkan kedua matanya mengarah ke spanduk yang bertuliskan Crounland, kota tanpa pohon ini adalah tempat kalian. Silahkan menikmatinya.” Laki-laki setengah telanjang itu melambaikan tangan kearahnya, ia berjalan mendekat ke arah laki-laki itu.
           Rambut hitam gelap, mata berwarna biru serta tubuhnya berwarna kecoklatan. Laki-laki itu turun dari tiang menghadap ke arah Sunrise. Tanpa menyadari tangannya menyentuh segaris bentuk tubuh laki-laki itu.
           Laki-laki itu menyentuh tangan Sunrise dan melangkah mundur lalu menundukkan kepalanya menatap Sunrise. Sunrise terkejut mendapati laki-laki itu manatapnya, lalu ia mundur selangkah dan terjatuh karena tersandung retakan tanah kering.
           “Kau tidak apa-apa?” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
           “Tidak, aku tidak apa-apa.” Sunrise mengacungkan sweater merah marun. “Ini punyamu, kan?” ia mengangkat tubuhnya berdiri tanpa menerima uluran tangan laki-laki itu.
           Laki-laki itu menurunkan tangannya yang sedari tadi terulur sambil tersenyum kecil. “Iya itu milikku. Pakailah, kulihat tadi kau kepanasan.”
           Sunrise memerhatikan ke sekelilingnya, dan memandangi langit. Malam telah datang namun panasnya udara tetap berdiam di Crounland. “Sudah malam, aku harus pergi.” Ia menyimpan sweater merah marun di tangan laki-laki itu. Lalu berlari kecil ke arah yang berlawanan dari tempatnya beristirahat namun langkahnya berhenti, tertahan oleh tangan laki-laki itu.
           “Mau kemana? Kau mau berlari sejauh apapun yang akan kau temukan tetaplah sama, udara panas dan tanah gersang ini.” Sekali lagi laki-laki itu mengulurkan tangannya, Sunrise hanya menatap ujung jemari laki-laki itu.
           Sunrise menerima uluran tangan itu dan berjabat tangan. “Rain. Rain Fiter,” ucapnya lantang sambil tersenyum lebar. “Namamu?”
           Sunrise menatap bola mata laki-laki itu, mata berwarna biru menenangkan hatinya. Ia pun tersenyum riang ketika melihat senyuman manis laki-laki yang berada dihadapannya. “Aku sudah tahu namamu dari sweater itu,” sunrise tertawa kecil.
           Rain Fiter memainkan uluran itu sambil menatap sweater merah marunnya tepatnya nama yang di maksud oleh gadis kepang itu. Ia pun ikut tertawa.
           “Namaku Sunrise. Sunrise Aquila.” Sunrise menarik uluran tangan berniat melepasnya namun tangan laki-laki membuatnya tidak ingin terlepas. “Hmm,”gumamnya sambil melirik tangan kanannya.
           “Maaf, maaf. Tanganku mungkin merasa nyaman.”
           Dan mata mereka bertemu, serta tawa kecil menghiasi bibir masing-masing.
           “Rain?”
           Sambil mengenakan sweaternya Rain mendekati tiang yang sangat tinggi. “Ya?”
           “Kulitmu?”
           “Kulitku? Oh ini kena sinar matahari Crounland. Tenang ini bukan salahmu – kau mau membantuku?”
           Sunrise mendekat ke arah Rain berada. “Membantu apa? Membantu menurunkan spanduk ini maksudmu?”
           Rain menganggukkan kepalanya dengan mata yang berbinar ceria yang membuat Sunrise merasakan kenyamanan. “Tentu. Kau bisa manjat, kan?”
           Sunrise hanya menjawab dengan senyuman dari pertanyaan Rain. Lalu memanjat tiang yang satunya.
           Saat mereka berdua duduk saling bersandar dipunggung dengan spanduk yang terhampar luas di permukaan tanah.
           “Rain?”
           “Hmm,” gumam Rain sambil memejamkan mata.
           “Spanduk ini untuk apa?”
           “Untuk bertahan hidup.”
           Sunrise membalikkan badan mengarah ke Rain dengan tatapan heran. “Bertahan hidup?”
           “Hmm, – kau lapar?”
           Sunrise mengusap bagian perutnya lalu melipat kakinya mendekat ke dada. “Tidak, aku tidak lapar?”sambil tersenyum kecil menatap ujung jari kakinya.
           Rain Fiter menarik badan dengan sedikit membungkuk sambil tangan mengusap rambut hitamnya. “Kau yakin akan bertahan?” Lalu mengangkat diri sambil menarik spanduk besar itu.
           Sunrise berbalik menatap Rain yang sedang menarik spanduk membiarkan spanduk itu terhampar rapih di atas tanah kering, tanpa menjawab Sunrise membantu Rain membentangkan spanduk itu.
           “Tanah yang tertutup ini akan menjadi lebih dingin daripada tanah disekeliling spanduk ini,” jelas Rain sambil tersenyum menatap Sunrise.
           Sunrise hanya menatap Rain kebingungan lalu menunduk sambil memainkan ujung sudut spanduk. “Seberapa kenalkah kau terhadap Summerblack?”
           Rain menatap Sunrise yang sedang memicingkan mata padanya. “Summerblack? – Semengenalnya aku denganmu,” jelasnya masih dengan menatap Sunrise namun sambil tersenyum manis.

ӁӂӁ

           Tiga hari berlalu. Kota Crounland yang semakin panas disetiap harinya. membuat Sunrise dan Rain menyerah untuk bertahan. Sunrise sedang tertidur dibalik spanduk. Tanah kering yang sebelumnya melukai kakinya, kini tidak terasa lagi. Tanah yang ditempatinya kini tanah yang lembab dan hangat. Ia tidak mengerti mengapa tanahnya dapat berubah yang ia tahu hanya mempercayai setiap kata Rain Fiter. Meskipun tanahnya berubah namun perih yang dirasakan perutnya tidak dapat ia tahan lagi.
           Sunrise memeluk kakinya menahan perih yang menyerang pada bagian perutnya. “Rain… Rain Fiter?” gumamnya pelan sambil menyentuh punggung Rain yang terbalut sweater hangat.
           Rain Fiter berbalik menatap Sunrise yang kesakitan. Ia dapat melihat air mata itu mengalir jatuh membasahi tanah. Rain keluar dari balik spanduk dan mengangkat tubuh Sunrise. Yang terlihat makin kurus serta kulit yang terbakar akibat panasnya matahari. “Tutup matamu, jangan membukanya sebelum aku mengijinkanmu membukanya.”
           Sunrise hanya menjawab dengan anggukkan kepala yang mengiyakan pernyataan dari Rain Fiter.
           Hanya butuh semenit untuk memenjamkan mata. Rain menurunkannya di sebuah telaga yang indah.




           Sunrise turun dengan senang hati tanpa memperhatikan bajunya yang basah kuyup. Ia menenggelamkan diri meminum air itu sebanyak yang ia inginkan.
           Rain menghampiri Sunrise yang tengah berdiam diri di atas batu menghadap ke telaga itu. “Kau lapar?” sambil menyodorkan ikan bakar pada Sunrise.
           Sunrise menatap Rain lalu beralih menatap ikan yang dipegang Rain. “Darimana ikan ini?” ia meraih ikan itu lalu memakannya dengan saksama.
           Rain duduk tepat disamping Sunrise. Ia memerhatikan Sunrise yang menyantap ikan itu dengan lahap dan mengabaikan pertanyaan yang di ajukan Sunrise padanya. Perlahan tangannya ingin menyentuh kulit Sunrise lalu ia mengurungkan niat dan menundukkan kepalanya.
           Suara gemerisik yang berasal dari semak-semak disekitarnya. membuat perhatian Rain teralihkan, ia menarik Sunrise masuk ke dalam telaga tanpa memperdulikan Sunrise yang masih dengan lahapnya memnyantap ikan bakar itu.
           “Ada apa?”
           Rain menutup mulut Sunrise dengan tangan kanannya. “Aku ingin kau membayangkan Crounland saat kau menutup matamu, oke?”
           Sunrise hanya mengangguk. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya dan Rain lalu ia mengikuti apa yang dikatakan Rain membayangkan kota Crounland yang sangat panas serta tanah kering. Sebelum ia membuka matanya, seperti sebelumnya hanya butuh semenit ia dapat merasakan tiap garis retakan tanah Crounland. Perlahan ia membuka matanya dan mendapati Rain yang terbaring lemas.
           “Rain?” Sunrise mengangkat kepala Rain membiarkannya tidur dipangkuannya.
           Rain mengambil benda kecil yang berbentuk bulat dari saku celananya lalu memberikannya pada Sunrise. “Tadi ini terlepas,” jelasnya sambil tertawa kecil.
           Sunrise pun ikut tertawa melihat ikat rambutnya ada pada Rain. Ia mengambil ikat rambutnya sambil mengikat rambut ia memerhatikan Rain yang sedang memejam mata. “Bagaimana caranya?”
           “Kau hanya perlu berimajinasi.” Jelas Rain dengan mata yang masih terpejam.
           Setelah mendengar jawaban Rain. Sunrise menutup matanya sambil membayangkan air muncul dari permukaan tanah Crounland. Sebelum membayangkannya Sunrise menarik nafas panjang.
           Rain menatap wajah Sunrise yang sedang memejamkan matanya sedari tadi. “Air?”
           “Darimana kau tahu?”
           Rain mengusap kedua mata Sunrise.
           “Ada apa dengan mataku?” Sunrise mengusap kedua matanya.
           “Tidak, lihatlah kulitmu kembali seperti semula.” Rain mencubit lengan Sunrise dengan keras.
           Sunrise menarik lengannya lalu mengusapnya dengan pelan sambil tersenyum melihat kulitnya kembali seperti semula. “Kurasa ini berkat telaga itu – sepertinya tidak perubahan sama sekali.” Ia memerhatikan sekitarnya.
           “Kau harus percaya diri.” Rain bangkit dari pangkuan Sunrise. Lalu menarik spanduk besar itu sambil mencari sesuatu dalam gambar spanduk. “Kau ingat saat kita berdua menurunkan spanduk ini dari tiang itu?”
           Sunrise mendekatkan diri ke arah Rain lalu mengangguk menatap laki-laki bermata biru.
           “Tiga hari yang lalu, tepatnya saat kita menurunkan spanduk ini dari tiang itu. bayangan kau dan aku ada dalam spanduk. Aku kira itu hanya sebuah bayangan biasa, tapi semakin kuperhatikan gambar itu semakin jelas.” Rain menunjukkan gambar bayangan yang dimaksudnya. “Perhatikan, hari berikutnya aku berjalan-jalan dengan menggunakan imajinasiku ke hutan Summerland. Saat aku kembali, di dalam spanduk itu terdapat gambar yang samar. Namun saat aku mengajakmu dengan kekuatan imajinasiku gambar yang terdapat di dalam spanduk ini sedikit lebih jelas.”
           Sunrise menunjuk gambar yang dimaksud Rain lalu beralih memandangi Rain. “Jadi menurutmu, jika aku bisa bermain imajinasi kita dapat kembali ke Summerland?”
           “Bingo,” seru Rain sambil mengusap rambut Sunrise.
           Sunrise menatap Rain sambil tersenyum lalu melangkah menjauh, duduk di samping tiang. Dengan menyilakan kedua kakinya lalu memejamkan matanya sambil menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Sekali lagi ia membayangkan air dan menyakinkan dirinya bahwa air itu benar-benar keluar dari tanah kering Crounland.
           Berkali-kali Sunrise lakukan, hingga ia putus asa. Ia meletakkan tangannya di atas tanah kering itu. Namun ia dapat merasakan tangannya basah akibat udara panas Crounland yang kian lama menyengat. Saat ia membersihkan keringatnya, ia merasakan celananya basah lalu ia memerhatikan sekitarnya. Air yang ia bayangkan keluar dari tempat duduknya. Sunrise berlari membangunkan Rain yang tengah tidur dibalik spanduk itu.
           “Rain, kau harus percaya aku berhasil melakukannya. Air itu keluar setelah aku menyentuh medianya.”
Sunrise menepuk pundak Rain namun ia tidak kunjung bangun, “Rain..Rain.” Sunrise kembali membangunkan Rain dengan menggoyangkan tubuhnya, namun laki-laki itu tidak sadar diri. Air yang semula keluar dari dalam tanah berubah menjadi darah yang terus mengalir tanpa hentinya. Ia menarik tubuh Rain namun wajahnya kian memucat, ia menaruh jari telunjuknya di bawah hidung untuk memastikan laki-laki dihadapanya ini masih bernafas. “Rain!” serunya sambil mengangkat tangan Rain. Namun patah saat ia hendak mengangkatnya hanya butuh tiga detik setiap anggota tubuh laki-laki itu patah seperti puzzle.
           Sunrise hanya menatap Rain kebingungan lalu menunduk sambil memainkan ujung sudut spanduk. “Seberapa kenalkah kau terhadap Summerblack?”
           Rain menatap Sunrise yang sedang memicingkan mata padanya. “Summerblack? – Semengenalnya aku denganmu,” jelasnya masih dengan menatap Sunrise namun sambil tersenyum manis.
           Sunrise kembali mengingat kejadian saat ia menanyakan Summerblack pada Rain. “Summerblack?” gumamnya pelan.
           Crounland hanya jembatan perbatasan antara Summerland dan Summerblack. Selama ini Sunrise tidak mengetahui bahwa Crounland bukanlah Summerblack. Ingatannya terus kembali pada wajah bingung Rain ketika ia menanyakan tentang Summerblack.
           “Ma! Perhatikan Sunrise. Mama tidak peduli dengan masa depannya, beberapa detik lagi usia kami bertambah. Mama tahu sendiri kalau Sunrise akan di usir dari Summerland, kan? Ke sisi gelap Summerland!”
           “Maksudmu?” Sunrise memperhatikan kedua orang itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Jelaskan!”

           Satu persatu cerita Summerblack datang dalam pikiran Sunrise. Ia mengangkat kedua tangannya menutup teliganya, di sekelilingnya berubah menjadi gelap saat ia membalikkan tubuhnya berbalik arah tepat ke arah belakangnya, tiba-tiba ada tangan yang lain menariknya keluar.
           
ӁӂӁ

           Sunrise menarik diri dari ngenggaman Rain. “Rain?” ia menatap Rain dengan tatapan bingung sambil melangkah mundur menjauhi Rain.
           “Tunggu, dengarkan penjelasanku dulu.”
           “Apa yang harus aku dengarkan darimu?” Sunrise terus melangkah mundur. “Tentang imajinasi?”
           “Sunrise tenang. Semua ini hanya imajinasimu. Kita bisa kembali ke Summerland,” jelas Rain sambil berusaha mendekat ke arah Sunrise.
           “Tenang? Kau pikir aku bisa tenang? Setelah melihat tubuhmu hancur, dan air yang keluar berubah menjadi darah. Kau pikir aku bisa tenang? saat aku benar-benar berada dalam gelapnya Summerblack?”  Sunrise duduk membungkuk memeluk kedua kakinya lalu menatap Rain yang berjalan mendekatinya.
           Rain memeluk Sunrise, ia dapat merasakan setiap keringat membasahi tubuh gadis ini. Perlahan ia mengusap setiap helai rambut coklat gadis ini. “Percaya, ini hanya imajinasimu.”
           Sunrise menatap Rain tepat di bagian dagunya. “Aku ingin kembali ke Summerland,” gumamnya lirih.
           Rain melepas pelukannya. “Siap?”
           Hanya senyumanlah yang menghiasi bibir Sunrise.
           Mereka berdua duduk berhadapan dengan kedua kaki yang menyila dan kedua tangan yang saling menggenggam satu sama lain. Mereka membayangkan tempat tinggal mereka masing-masing di Summerland. Namun sayang ketika ia mencobanya tetap mereka tidak bisa kembali.
           Pertama. Gagal. Kedua kalinya. Gagal.
           Sunrise membuka matanya. “Tunggu kurasa presepsi kita salah terhadap spanduk itu.” jelasnya sambil melepas ngenggaman tangannya yang membuat Rain terkejut.
           “Tidak mungkin semudah itu – kau ingat pertama kali kau dikirim ke Crounland karena apa?”
           Rain mengerutkan dahinya sambil memicingkan matanya. “Saati itu aku baru terbangun dari tidurku dan saat itu usiaku bertambah ke-17”
           “Tepat. Saat itu juga usiaku bertambah. Namun sebelum usiaku bertambah….” Sunrise menceritakan semua kejadiannya sebelum ia dikirim ke Crounland.
           “Jadi kita harus memelihara tanaman?”
           “Bingo,” gumam Sunrise sambil meniru gaya bicara Rain pada saat itu.
           “Bagaimana caranya?”
           Sunrise menatap Rain dengan tatapan yakin dengan sedikit memiringkan kepalanya.
           “Imajinasi?” Tanya Rain ketika melihat wajah Sunrise.
           Sunrise tersenyum mendengar Rain mengerti yang ia maksud.
           Mulai detik itu mereka memelihara tanaman dalam imajinasi mereka. Memelihara bahkan melindungi. Dan detik itu c
ahaya putih serta prajurit dengan lambang pohon didada kanan mereka datang menyambut mereka. Menyambut hangat tanaman yang mereka pelihara di dalam imajinasi.
           “Sunshine?”
           Tiba-tiba cahaya putih itu menyilaukan mata. Sunrise memperhatikan dinding bergambar pohon rindang. “Summerland? Syukurlah ini hanya mimpi.” sambil mengusap-ngusap dadanya.





           “Sunshine, bangun bantu mama.” Suara mama terdengar dari belakang pintu.
           “Iya ma, nanti Sunrise kesana sama Sunshine” Sunrise melirik kembarannya yang masih tertidur pulas lalu ia mengambil buku hitam di dalam laci meja di samping kasurnya.

           Tanpa pohon. Tanah kering, udara panas datang menghilangkan air. Semua itu hadir atas kesalahan kita. Kesalahan yang tidak pernah kita perbaiki dan selalu mengulanginya. Saat bumi ini kehilangan oksigen, jangan menyalahkan siapapun. Tapi lihatlah ke dalam diri kita masing-masing.
           Dan satu hal lagi.
           Percayalah pada imajinasimu – Rain Fiter