Minggu, 18 Januari 2015

“Seperti laut yang dihiasi langit senja…”

Haven menghempaskan diri di kasur besar yang menyempitkan kamar kecilnya. Ia menarik benda kecil yang masih terikat rapih dirambutnya dan menyimpan ikat rambut itu di atas meja kecil di samping tempat tidurnya lalu ia membalikkan badannya menatap sudut-sudut kayu yang tersusun rapih di langit-langit dinding.
            “Bebas!” gumam Haven sambil tersenyum lebar.
Gelas bening yang terisi setengah air putih di atas meja kecil lainnya ia tatap baik-baik, hingga kedua matanya terpicing “Oh, damn.” Seru Haven sambil mendekat ke arah gelas bening itu lalu mengambil kertas kecil yang bersandar di balik gelas itu, ia memandangi kertas itu sambil tersipu malu ia berusaha menahan senyumnya namun terlalu naif untuk menyembunyikan bahagianya.
            Biru jeans serta kemeja hitam berlengan panjang yang terlipat ditepi sikutnya dengan sentuhan kaos warna-warni yang terpadu rapih bersama kulit manis yang dimiliki Haven. Ia membiarkan rambutnya tergerai berombak di tepi pundaknya, membuat penampilannya menjadi menarik.
            Benda yang ada dihadapan Haven menampilkan dirinya, ia menghembuskan napas panjang sambil tersenyum menatap wajahnya di balik cermin yang menutupi salah satu sudut dinding kamarnya.
            Bersama sepatu ketsnya Haven berlari menelusuri dinginnya angin malam. Ia menatap jam digital di ponselnya yang menunjukkan angka 00:13. Satu pukulan tepat di pundak yang membuat Haven berbalik arah. “Hai,” serunya sambil meraih lengan pria di hadapannya.
            “Dia sudah menunggumu terlalu lama, ayo.” Jelas pria itu sambil menatap Haven dengan penuh senyuman tawa.
            Haven hanya mencari-cari sosok yang dimaksud oleh Kenzo sambil mengikutinya dari belakang.

            “Hai,” Sapa Haven malu kepada dua orang pria di hadapannya yang salah satunya pria yang memberinya sebuah ajakan lewat kertas kecil yang bertuliskan :


“Ayo,” Seru Kenzo Sambil mendorong Haven ke hadapan Levi.
            Haven hanya mengangkat kedua tangannya yang menandakan tidak tahu apa-apa ketika pria itu menatapnya heran. Levi Green menatap Haven dengan tatapan datar seolah diantara mereka berdua tidak terjadi apa-apa.

ΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫ

            Kendaraan beroda dua ini terparkir di sisi jalan. Haven turun melangkah mendekat pemandangan kilauan cahaya lampu pemukiman warga New York. Cahaya lampu pemukiman itu menghiasi air yang terlihat hitam gelap karena langit malam.


Levi Green berjalan mendekat ke arah Haven yang sedang duduk di tepi tebing setinggi perutnya.
            Mereka berdua duduk tepat bersampingan sehingga punggung lengan mereka bertemu satu sama lain.
            Getaran-getaran kecil hadir dalam benak Haven, ia sedikit menoleh ke arah Levi. Wajah Levi kembali menatapnya.
            Mata mereka bertemu.
            Haven berbalik kembali menatap kilauan cahaya di ujung sana. “Mirza dan Kenzo kemana?” tanyanya memecah keheningan.
            Levi hanya terdiam terpaku memandangi pemandangan, sebenarnya ia sama sekali tidak memandangi apapun pikirannya kosong pandangan buyar.
            Haven hanya menatapnya dengan heran. “Lev? Kau baik-baik saja, kan?”
            “Ya,” seru Levi singkat sambil kembali menatap Haven lalu tersenyum kecil.

ΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫ

            Tas ransel hitam bergantung disebelah pundak Haven dan membiarkan tasnya berada dalam pangkuannya lalu duduk di deretan bangku, dari seberang jalan ia memerhatikan seseorang dengan balutan sweater biru laut meski hanya dari belakang ia tahu betul pria itu adala Levi Green.
            Haven menunggu pria itu berbalik arah kehadapannya dan baru akan menyapa setelah itu. Namun kenyataan lain berbeda, Levi mendekati seorang gadis yang tak dikenalnya. Menyapanya persis ketika Levi menyapa Haven.
            Pandangannya menunduk menatap ke ujung sepatu lalu beralih memerhatikan tali sepatu. Haven merasakan sesak di dadanya, ia hanya memejamkan matanya dengan menyakinkan hatinya lalu mengatur nafasnya.
            “Hei… Kau lihat Levi?”
            Suara itu tepat berada di hadapannya, namun Haven masih mengatur nafasnya sambil menunduk.
            Mirza menepuk pundak Haven dengan pelan lalu bertanya kembali. “Kau lihat Levi? Kau tahu dia kemana?”
            Haven hanya menatap Mirza dengan tatapan bingung lalu tersenyum. “Aku tidak melihat Levi daritadi Mirza.” Lalu beranjak berdiri. “Kau mau ikut?”
            Mirza mengusap dagunya yang tidak terasa gatal lalu beralih menatap Haven setelah mendengar ajakan Haven. “Kau mau kemana?”
            “Tempat dimana hanya ada suara ombak.”
            Mirza hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum yang menandakan ia bersedia ikut.

ΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫ

            “Pemandangan yang indah bukan?”
            Mirza memerhatikan wajah Haven lalu kembali menatap pesisir laut itu. “Haven?”
            “Ya,” gumam Haven pelan sambil menikmati suara ombak.
            “Kau dan Levi adalah pasangan yang sempurna.”
            Haven menatap Mirza dengan heran.
            Mirza berbalik menatap Haven dengan wajah penuh kebingungan sambil tersenyum lebar.
            Mereka berdua saling menatap.
            Haven hanya tertawa kecil ketika menatap wajah Mirza. “Aku dan Levi tidak ada hubungan apa-apa hanya sebatas dekat saja.”
            “Ha? Tapi kalian itu…”
            Haven menyandarkan kepalanya di pundak Mirza. “Tadi aku melihatnya menyapa seorang gadis diseberang jalan.”
            “Lalu? Kau tidak menyapanya?”
            “Mmm,” gumam Haven pelan sambil memenjamkan mata.
            “Kau menyerah begitu saja?”
            Haven mengangkat kepalanya lalu berbalik menatap Mirza yang balik menatapnya dengan senyuman kecil.
            “Kalian terlihat cocok saat bersama, lalu apa yang kau tunggu darinya?”
            Haven memicingkan matanya menunjukkan ia sedang memikirkan sesuatu dalam pikirannya. “Menunggu dia duluan yang memulai.” Tegas Haven sambil menatap Mirza.
            “Kalian berdua itu seperti laut yang dihiasi langit senja. Terlihat cocok saat dilihat bersama namun kenyataannya kalian memiliki jarak yang sangat jauh sehingga satu sama lain sulit menjangkaunya.” Jelas Mirza sambil beranjak dari tempat duduknya.