Minggu, 31 Mei 2015

Try Again

Mengulang hal kecil yang termakan emosi. Senyuman berubah api, haus akan dahaga ketenangan. Penantian yang membuang waktu menyiksa kesendirian.
Tidak ada kata yang ku kenali, keindahan amarah memakan suaraku membuat lidahku kelu. Kupandangi wajah diammu, terlalu sunyi hingga dapat kudengar desa nafas yang menahan emosi. Jelas, aku tidak berani menyentuhmu, tidak berani menenangkanmu. Jiwaku terlalu penuh dengan emosi.
Semua apa yang terjadi selalu terjadi untuk kesekian kalinya, alasan bodoh yang terlalu kecil membuat diri ini terlihat bocah dan menjijikan.
Semua ini kesalahan yang tidak bisa termaafkan dengan kata, kata "MAAF"yang selalu terujar manis selalu mengawasi tindakan hingga termakan kata itu sendiri.
Namun hanya kata itu yang menggambarkan diamku, acuhku, serta pandanganku.
Untukmu, Kau hebat.
Kau dapat menarikku jauh menelusuri ruang sabarmu, kau tahan emosimu dengan pelukanmu, kau simpan amarahmu dengan kata maafmu.
Ketika kata maafmu menyentuh keningku, tulus kasih ini semua salahku. Kesalahan yang tidak mau ku akui. Kesalahan yang membuatku mengabaikanmu.

Sabtu, 09 Mei 2015

K A M U

Kata yang jelas yang selalu tertuju padamu, makna yang jelas tanpa perlu kusebut.
Kamu semakin lama berjalan, semakin sulit perjuanganmu. Akan tetapi, kamu selalu bertahan tanpa menghiraukan pikiranku. Memperjuangkan walau selalu diterjang emosi, bertahan meski dalam pondasi yang rapuh.
Kesabaran yang tersimpan rapih membuat kamu lebih berharga dari yang lain.
Terima kasih kamu nya aku yang selalu bertahan. Pondasi yang rapuh kita bangun bersama dengan tekun dan rajin membuatnya menjadi kokoh. Membuatnya semakin nyaman untuk di tempati, semakin sejuk untuk di nikmati.

Selasa, 14 April 2015

"Palsu"

Senyuman yang palsu semakin sering kupakai. Semakin sulit kutinggalan. Kau membencinya tanpa pernah bertanya alasannya. Aku tidak pernah mempermasalahkan hal kecil ini. Aku hanya menyukai. Tidak benar-benar menyayangkan. Aku pasti akan lepas akan hal itu. Pasti. Saat benar-benar aku ingin melepasnya.
Tertawa, hanya untuk membuatku tenang namun semua kehampaan itu tak bisa hilang dan selalu menyisa.
Cerita fana itu selalu hadir menantiku, merujuk aku jatuh kedalam senyuman palsu. Ini caraku memaafkan dan melupakan cerita-cerita yang membuat emosi meningkat. Inilah caraku merendamkan amarahku. Cara yang kupakai tanpa membuat orang mengetahuinya, meskipun terkadang aku butuh tempat pelampiasan.
Bagiku cerita fana hanya sekilas dalam hidup ini namun untuk meninggalkan luka tidak mudah terhapus oleh waktu.
Ribuan hari cerita itu selalu mengantung tanpa pernah ku lepas.
Sulit untuk sebagian orang untuk melakukan hal ini. Terutama aku. Namun tanpa cara ini, aku tidak tahu akan jadi apa aku yang terus jatuh dan jatuh ke dasar jurang yang tak berujung itu. Lemah. Tidak berdaya. Pesimis. Semua perihal kejelekan manusiawi pasti tertanam dalam jiwa ini.

Senin, 06 April 2015

"Pertama"

Seribu langkah yang kita tempuh dalam beberapa hari lalu kembali memutar ingatan lalu yang menerpa pikiranku. Tanganmu menarik meraih tanganku menyematkan kesela jariku, meski hanya ribuan detik. Kau telah membuat sedikit cerita saat itu. Sedikit namun jelas meski ribuan keraguan menjelma namun tak ku hiraukan.Yang ku tahu itu hal pertama yang kau lakukan terhadapku, membawaku masuk kedalam duniamu. Kedunia yang tidak pernah kupahami namun tanpa kusadar aku tidak menolak ngenggamanmu. Karena rasa yang kau usahakan masuk perlahan tanpa pernah ku sambut hangat keraguanku dan keraguan yang tumbuh terpotong tipis begitu saja. Biarkan kisah ini terus mengalir, mengalir, mengalir. Kemanapun dan selalu bersama.

Rabu, 18 Maret 2015

"Hal Pertama"

Semenjak hari itu, dimana kita hanya bisa mengadukan ke gabutan yang akut melalui via sms. Lalu kita putuskan untuk pergi keluar. Entah, roda itu terus berputar membawa aku dan dia ke suatu lokasi dan tidak menyadari hari libur imlek tepat dengan ke gabutan kami. Butuh waktu yang lama untuk sampai ke lokasi yang akan kami tuju. Bahkan punggung kami sudah tidak mampu lagi untuk tetap duduk dalam perjalanan ini.

Lihat!!! Kau ingat tempat ini?
 Tempat kunjungan pertama kami. Hal pertama yang kusinggung bukan perihal aplikasi LINE lagi :p melainkan hal pertama yang kau lakukan terhadapku.Tanpa sadar telapak tanganku memainkan beberapa helai rambutmu, kau menarik tanganku dan membiarkannya tetap berada di dekat dadamu. Kau tertidur sambil memegang tanganku dan hal itu tanpa kau sadari. Kau membiarkan tanganku tetap berada di dekat dadamu tanpa kau ijinkan tanganku terlepas. Aku menunggu, menunggu dan menunggu. Membiarkanmu tertidur dengan pulas, melepas rasa sakit karena posisi duduk yang membuat kakiku terasa seperti ditusuk jarum. Sakit, namun tidak ku hiraukan. Ada beberapa hal yang ingin ku tanyakan padamu, namun aku tidak yakin kau masih mengingat perkara ini. Tapi seharusnya kita sadar bukan? Karena kunjungan pertama kita inilah yang membuat kita semakin mendekat.
Hal ini hanya seputar kenangan kita, yang akan menjadi karyaku yang akan ku ukir nanti.

Jumat, 13 Maret 2015

"Masih Terlalu Awam"

Semua canda itu berhenti di satu titik. Semua curahan itu terlempar untuk dilupakan.
pertemuan kami pun berawal dengan kediaman antara jarak meja. Kosa kata berhenti, tidak terjadi komunikasi. Namun posisi LINE masih hadir di antara kosa kata jemari kita. Dia dengan laptopnya sedangkan aku dengan ponselku.
Anggap aja ini aplikasi LINE yah!!!
"Udah nyampe yah? ._." → This is him
"Sebelah mana?" → This is me
"Depanmu"
"Mana? ngga liat aku -,-"
":3"
Perhatikan emot terakhir. masih stay saja kan dengan emot itu → :3
Lucu, tapi tambahan emot yang sering di pakainya tuh → ._.
Sebenarnya masih belum paham dengan maksud semua ini. Kita berhadapan, duduk satu lokasi namun kita masih tetep aja mengobrol dengan via LINE, hanya saja jarak meja itu membuat sedikit ada kata jarak wkwkwkwk.
Namun saat adzan berkumandang, hal itu beda. Aku terlalu sibuk memperhatikan dia dengan balutan jaket jeans serta rambut yang tampak numpuk alias gondrong itu terus melangkah. 
Setelah sholat, kami mengisi perut kami dengan makanan. Nama makanannya mie jogging. Dan cukup membuat perutku terasa perih. Perih bahkan aku masih mengingatnya dengan jelas rasa pedas yang menghina mulutku itu -,-
Namun satu alasan, hal ini belum jelas masih terlalu awam untuk menyadari :)
Lanjut?
Tunggu ajalah.. :D

Senin, 09 Maret 2015

"Masih Awam"

Aku lupa, kapan harus aku melupakannya. Benar-benar lupa dan tidak menyadari waktu. Lima tahun lamanya penantian itu ku tunaikan tapi tidak menghasilkan apapun. Waktu memang kejam, tapi waktu sangatlah bermakna sampai detik waktu itu berubah. Yap, mengubah perasaanku.
Kalian pasti tahukan aplikasi LINE?
Aplikasi apalagi coba yang beli sticker harus mengejar koin gratis ini wkwkwk.
Tapi semua itu berawal dari aplikasi LINE. SEMUA. Tanpa kecuali cerita kami dari hati ke hati #eeaaaa.
DANGER!!!
Anggap aja ini aplikasi LINE yah!
"Cieeeee yang sekarang sama si *Pink," (*nama samaran) → this is me :)
"What?" → this is him
"Kamu suka dia kan?"
"Apaan sih? Aku biasa aja kesemua."
"Tapi..."
"Jangan sok tau."
"Maksudnya tuh, tapi kok ceritanya sama."
"Cerita apa?"
"Aku juga biasa aja ke semua :p"
"Ngomong apa sih :3 aku ngga ngerti."
You know that. Dia ini always pakai tuh emot → :3 dari aku kenal dia sampai sekarang dia masih stay aja tuh dengan emot itu. But sedikit tambahan aja sekarang :)
Setelah panjang lebar atau lebih tepatnya di panjang lebar itu kita berbagi kisah kita. Kisah yang benar-benar kami pendam jauh di dalam diri kita. Namun kisah itu terus bercerita layaknya lupa diri. Waktu memang benar-benar kejam, sangat kejam. Hingga kita harus menyadari kisah yang kita jalani selama ini sandiwara konyol dan benar-benar konyol.
Saatnya katakan "Selamat tinggal kamu kamu yang dimasa konyol."
Bagiku dia memang orang pertama yang singgah di hidupku. Namun bagiku juga kau adalah orang konyol yang singgah di kisahku ini :p
Cerita selanjutnya? tunggu aja yah wkwkwk :)


Minggu, 18 Januari 2015

“Seperti laut yang dihiasi langit senja…”

Haven menghempaskan diri di kasur besar yang menyempitkan kamar kecilnya. Ia menarik benda kecil yang masih terikat rapih dirambutnya dan menyimpan ikat rambut itu di atas meja kecil di samping tempat tidurnya lalu ia membalikkan badannya menatap sudut-sudut kayu yang tersusun rapih di langit-langit dinding.
            “Bebas!” gumam Haven sambil tersenyum lebar.
Gelas bening yang terisi setengah air putih di atas meja kecil lainnya ia tatap baik-baik, hingga kedua matanya terpicing “Oh, damn.” Seru Haven sambil mendekat ke arah gelas bening itu lalu mengambil kertas kecil yang bersandar di balik gelas itu, ia memandangi kertas itu sambil tersipu malu ia berusaha menahan senyumnya namun terlalu naif untuk menyembunyikan bahagianya.
            Biru jeans serta kemeja hitam berlengan panjang yang terlipat ditepi sikutnya dengan sentuhan kaos warna-warni yang terpadu rapih bersama kulit manis yang dimiliki Haven. Ia membiarkan rambutnya tergerai berombak di tepi pundaknya, membuat penampilannya menjadi menarik.
            Benda yang ada dihadapan Haven menampilkan dirinya, ia menghembuskan napas panjang sambil tersenyum menatap wajahnya di balik cermin yang menutupi salah satu sudut dinding kamarnya.
            Bersama sepatu ketsnya Haven berlari menelusuri dinginnya angin malam. Ia menatap jam digital di ponselnya yang menunjukkan angka 00:13. Satu pukulan tepat di pundak yang membuat Haven berbalik arah. “Hai,” serunya sambil meraih lengan pria di hadapannya.
            “Dia sudah menunggumu terlalu lama, ayo.” Jelas pria itu sambil menatap Haven dengan penuh senyuman tawa.
            Haven hanya mencari-cari sosok yang dimaksud oleh Kenzo sambil mengikutinya dari belakang.

            “Hai,” Sapa Haven malu kepada dua orang pria di hadapannya yang salah satunya pria yang memberinya sebuah ajakan lewat kertas kecil yang bertuliskan :


“Ayo,” Seru Kenzo Sambil mendorong Haven ke hadapan Levi.
            Haven hanya mengangkat kedua tangannya yang menandakan tidak tahu apa-apa ketika pria itu menatapnya heran. Levi Green menatap Haven dengan tatapan datar seolah diantara mereka berdua tidak terjadi apa-apa.

ΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫ

            Kendaraan beroda dua ini terparkir di sisi jalan. Haven turun melangkah mendekat pemandangan kilauan cahaya lampu pemukiman warga New York. Cahaya lampu pemukiman itu menghiasi air yang terlihat hitam gelap karena langit malam.


Levi Green berjalan mendekat ke arah Haven yang sedang duduk di tepi tebing setinggi perutnya.
            Mereka berdua duduk tepat bersampingan sehingga punggung lengan mereka bertemu satu sama lain.
            Getaran-getaran kecil hadir dalam benak Haven, ia sedikit menoleh ke arah Levi. Wajah Levi kembali menatapnya.
            Mata mereka bertemu.
            Haven berbalik kembali menatap kilauan cahaya di ujung sana. “Mirza dan Kenzo kemana?” tanyanya memecah keheningan.
            Levi hanya terdiam terpaku memandangi pemandangan, sebenarnya ia sama sekali tidak memandangi apapun pikirannya kosong pandangan buyar.
            Haven hanya menatapnya dengan heran. “Lev? Kau baik-baik saja, kan?”
            “Ya,” seru Levi singkat sambil kembali menatap Haven lalu tersenyum kecil.

ΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫ

            Tas ransel hitam bergantung disebelah pundak Haven dan membiarkan tasnya berada dalam pangkuannya lalu duduk di deretan bangku, dari seberang jalan ia memerhatikan seseorang dengan balutan sweater biru laut meski hanya dari belakang ia tahu betul pria itu adala Levi Green.
            Haven menunggu pria itu berbalik arah kehadapannya dan baru akan menyapa setelah itu. Namun kenyataan lain berbeda, Levi mendekati seorang gadis yang tak dikenalnya. Menyapanya persis ketika Levi menyapa Haven.
            Pandangannya menunduk menatap ke ujung sepatu lalu beralih memerhatikan tali sepatu. Haven merasakan sesak di dadanya, ia hanya memejamkan matanya dengan menyakinkan hatinya lalu mengatur nafasnya.
            “Hei… Kau lihat Levi?”
            Suara itu tepat berada di hadapannya, namun Haven masih mengatur nafasnya sambil menunduk.
            Mirza menepuk pundak Haven dengan pelan lalu bertanya kembali. “Kau lihat Levi? Kau tahu dia kemana?”
            Haven hanya menatap Mirza dengan tatapan bingung lalu tersenyum. “Aku tidak melihat Levi daritadi Mirza.” Lalu beranjak berdiri. “Kau mau ikut?”
            Mirza mengusap dagunya yang tidak terasa gatal lalu beralih menatap Haven setelah mendengar ajakan Haven. “Kau mau kemana?”
            “Tempat dimana hanya ada suara ombak.”
            Mirza hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum yang menandakan ia bersedia ikut.

ΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫΫ

            “Pemandangan yang indah bukan?”
            Mirza memerhatikan wajah Haven lalu kembali menatap pesisir laut itu. “Haven?”
            “Ya,” gumam Haven pelan sambil menikmati suara ombak.
            “Kau dan Levi adalah pasangan yang sempurna.”
            Haven menatap Mirza dengan heran.
            Mirza berbalik menatap Haven dengan wajah penuh kebingungan sambil tersenyum lebar.
            Mereka berdua saling menatap.
            Haven hanya tertawa kecil ketika menatap wajah Mirza. “Aku dan Levi tidak ada hubungan apa-apa hanya sebatas dekat saja.”
            “Ha? Tapi kalian itu…”
            Haven menyandarkan kepalanya di pundak Mirza. “Tadi aku melihatnya menyapa seorang gadis diseberang jalan.”
            “Lalu? Kau tidak menyapanya?”
            “Mmm,” gumam Haven pelan sambil memenjamkan mata.
            “Kau menyerah begitu saja?”
            Haven mengangkat kepalanya lalu berbalik menatap Mirza yang balik menatapnya dengan senyuman kecil.
            “Kalian terlihat cocok saat bersama, lalu apa yang kau tunggu darinya?”
            Haven memicingkan matanya menunjukkan ia sedang memikirkan sesuatu dalam pikirannya. “Menunggu dia duluan yang memulai.” Tegas Haven sambil menatap Mirza.
            “Kalian berdua itu seperti laut yang dihiasi langit senja. Terlihat cocok saat dilihat bersama namun kenyataannya kalian memiliki jarak yang sangat jauh sehingga satu sama lain sulit menjangkaunya.” Jelas Mirza sambil beranjak dari tempat duduknya.